PERILAKU ORGANISASI
“Sumber Daya Manusia adalah aset atau biaya?”
1. SDM (Sumber Daya Manusia) Bukanlah Aset Terpenting
Ketika saya bermain tenis, seorang teman yang cukup kaya ikut bergabung bermain. Saya lirik raketnya amat sangat mahal, bahkan mungkin harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Dengan raket mahalnya, dia mengayun raket mencoba memukul bola tetapi selalu meleset. Dia terus mencoba sekuat tenaga untuk memukulnya dan kadang berhasil namun pukulannya tidak akurat dan selalu keluar lapangan.
Tiba-tiba datang seseorang dengan pakaian olahraga namun agak lusuh, raketnya mungkin masih terbuat dari kayu dan mungkin harganya sangat murah. Dengan santai dia memukul bola, base line, drop shot dengan mudah dan akurat. Dia bahkan kelihatan tidak berkeringat dan dia juga bahkan mengalahkan kita semua. Siapa dia? Ternyata dulu dia adalah seorang bekas “ball boy” dan sekarang menjadi seorang pelatih.
Ketika kami istirahat, kami “ngobrol” sambil bersenda gurau. Ternyata benar juga kata orang bahwa “the man behind the gun” adalah lebih penting daripada “Gun” itu sendiri. Walaupun raketnya jutaan rupiah, tetapi permainannya sangat kurang ahli.
Kami saat itu tersadar “bahwa ratusan SDM yang berbakat itu lebih penting daripada jumlah SDM yang ribuan”.
Malah pejabat Microsoft pernah mengatakan bahwa “satu Programmer yang luar biasa berbakat, jauh lebih baik dibandingkan dengan 10.000 Programmer yang biasa saja”.
Ini pula yang sering dihadapi oleh pimpinan perusahaan. Memiliki karyawan yang begitu banyak, namun selalu saja merasa tidak cukup. Ketika membutuhkan keahlian tertentu, selalu saja susah mencarinya. Akhirnya, dengan terpaksa harus merekrut orang baru atau dengan memakai jasa konsultan.
Dari penelusuran Jim Collins dalam Good to Great-nya, dia menemukan bahwa di perusahaan yang hebat-hebat tersebut melakukan lebih banyak upaya untuk menemukan orang yang tepat daripada jumlah. Andai kata perusahaan sebagai bus, lebih penting ada penumpang bus yang tepat daripada penumpang bus yang penuh namun tidak tepat.
Perusahaan itu mengkondisikan keadaan agar orang-orang hebat tetap bekerja di sana. Tetapi bagi orang-orang yang tidak tepat (tidak berbakat, keahliannya kurang bermanfaat, dsb), sistem yang ada akan membuat mereka tidak betah. Akibatnya, mereka banyak yang keluar dari perusahaan hebat tersebut.
Hebatnya lagi, ketika perusahaan-perusahaan tersebut sedang menghadapi masalah, mereka tidak langsung mem-PHK. Ini jelas berbeda dengan perusahaan yang biasa saja. Begitu menghadapi masalah, seperti krisis keuangan global seperti sekarang ini, mereka akan dengan serta merta dan ringan hati untuk mem-PHK. Mereka merasa bahwa inilah strategi yang terbaik.
Perusahaan hebat menemukan bahwa memiliki orang yang tepat (bakat, motivasi, semangat kerja, dan keahlian) adalah kunci menghadapi masalah apa saja. Ketika mereka menghadapi masalah, orang-orang hebat tadi akan dapat mencari solusi yang tepat. Ketika produk mereka mengalami penurunan, mereka akan bisa mencari produk pengganti atau me-repositioning agar bisa meningkatkan penjualan.
Masalah memiliki karyawan yang tepat ini amat sangat krusial bagi perusahaan yang sifatnya padat karya seperti PT. Pos Indonesia dan PT. KAI yang karyawannya berjumlah puluhan ribu.
• Bagaimana Cara Meningkatkan Sistem agar Memiliki Orang-orang yang Tepat?
a. Perekrutan harus berasarkan pada tuntutan kompetensi yang dibutuhkan.
Pada umumnya ketika perusahaan merekrut, mereka hanya mencantumkan karakteristik karyawan yang amat sangat umum. Misal : Lulus S1 Teknik, berpengalaman 2 tahu, memiliki semangat kerja, pantang menyerah, dsb.
Harusnya dipetakan dulu kompetensi yang dibutuhkan. Caranya mudah, amati karyawan yang kinerjanya luar biasa. Modelling atau catat perilaku, pola pikir, pola tindak dan kebiasaan, serta perasaan orang tersebut ketika bekerja.tanyakan, apa yang memotivasi orang tersebut sehingga bisa bekerja hebat.
Dari catatan tadi, kita akan memperoleh catatan perilaku yang spesifik yang bisa kita jadikan pegangan untuk merekrut. Tentu perilaku tadi harus bisa diamati. Cara mengetes peserta adalah dengan menyajikan kasus-kasus tertentu dimana calon harus mngemukakan pikiran, perasaan, strategi yang perlu dilakukan.
Pewawancara tinggal mencocokkan jawaban tadi dengan seperangkat kompetensi yang sudah didapat dari karyawan hebat tadi.
b. Adanya Sistem yang Tegas (bukan kejam) yang Mengukur Kinerja Karyawan Secara Jelas dan Akurat.
Sistem itu harus disesuaikan dengan filsafat yang dianut oleh perusahaan tersebut. Jika perusahaan tersebut menganut perlunya inovasi dan bebasnya gagasan mengalir, maka sistem yang ada harus mendorong agar gagasan bisa bebas mengalir. Gaji atau imbalan juga harus mendorong seseorang agar bebas berinovasi. Tentu aturan-aturan yang sifatnya “mencekik” kreatifitas harus dihilangkan.
Artinya, standar-standar kinerja jelas, termasuk jika seseorang tidak menunjukkan kinerja yang seharusnya. Sistem ini akan mempersilahkan seseorang yang tidak berkinerja untuk keluar.
Sepintas sistem seperti itu kejam, tetapi inilah hakekat yang dihadapi oleh perusahaan saat ini. Tidak ada yang mudah seperti dulu. Hanya dengan orang-orang terbiklah sebuah perusahaan mampu mengarungi perubahan yang dahsyat ini.
Jadi, “SDM (Sumber Daya Manusia) bukanlah aset, yang benar adalah memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang tepatlah yang sesungguhnya menjadi aset perusahaan”.
2. SDM (Sumber Daya Manusia) adalah Aset Terbesar Manajemen
Banyak pekerjaan-pekerjaan kecil yang dilakukan oleh karyawan-karyawan kecil. Yang kesemuanya terkadang tidak terlihat, sebab tersembunyi di balik kerja besar. Tetapi, mereka yang bekerja di bagian kecil tadi adalah penentu keberhasilan sebuah kerja besar, walaupun mungkin tak banyak yang menghargainya.
Bagi sebuah perusahaan ataupun universitas besar, karyawan adalah aset berharga yang harus dipelihara. Bacalah kisah sukses “Starbuck”, dari warung kopi kecil namun mampu mencapai puncak dengan lebih dari 12.000 kedai di seluruh dunia. Dari secangkir kopi seharga Rp.5.000 mampu diubah menjadi Rp.50.000 dan diminati oleh seluruh kalangan tua, muda di seluruh dunia.
Ketika membuka kedai kopi di Portland, Oregon, USA, pemilik kedai kopi Starbuck sama sekali tidak bermimpi bakal mempunyai lebih dari 12.000 kedai kopi di seluruh dunia. Namun dengan prinsip keterbukaan dan karyawan adalah aset yang paling berharga, Starbuck mampu mengubah hal yang biasa menjadi luar biasa.
Memimpin kedai kopi pada prinsipnya sama saja memimpin karyawan perusahaan besar ataupun karyawan universitas. Karyawan adalah manusia yang juga butuh dihargai sekecil apapun kerja yang mereka lakukan. Jadi, prinsip semuanya penting, tidak hanya Top Manager dan Middle Manager, tidak hanya rektor, dekan dan dosen. Karyawan kecil seperti Cleaning Service. Satpam ataupun pegawai rendahan lainnya menjadi bagian penting dari kerja besar. Tanpa bantuan mereka, toh tidak ada yang bisa dikerjakan.
SDM yang berkualitas tidaklah cukup untuk menjalankan kerja dalam jangka panjang. Diperlukan loyalitas pegawai terhadap bagian atau tempat dimana dia bekerja. Dengan membangun hubungan emosional antara lembaga dan pegawainya, maka seorang pegawai akan berusaha semaksimal mungkin memberikan kontribusi terbaik bagi lembaga yang menaunginya. Tanpa adanya hubungan emosional antara lembaga dan pegawai, maka pegawai hanya menjalankan kewajibannya tanpa memberikan seluruh kemampuannya untuk lembaga. Bila kewajibannya telah dilakukan, maka dia hanya akan berjalan di tempat tanpa memberikan inovasi, kreatifitas, dan ide cemerlang yang sebenarnya bisa dia lakukan.
Oleh karena itu, “membaur bersama karyawan, merupakan gaya managemen lembaga atau institusi yang ingin berhasil”.
Referensi :
1. * DR. Dwi Suryanto, Ph.D. Buku Transformational Leadership: Terobosan Baru Menjadi Pemimpin Unggul.
2. Edison Munaf. Guru Besar Universitas Andalas dan Atase Pendidikan di Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar