Sedikit cerpen untuk para pembaca.
Bismillah....
SURGAKU ADLAH IBUKU
Aku mencintainya, menyayanginya, bahkan selalu beliau
yang aku banggakan. Itulah yang selalu tersimpan di dalam hatiku hampir
sepanjang hidupku. Meskipun terkadang menyebalkan, tetapi aku tetap
menyayanginya sampai akhir hayatku. Sosok beliaulah yang menjadi inspirasiku,
sosok beliaulah yang menjadi pedomanku, dan sosok beliaulah yang selalu ada di
dalam setiap alunan doaku kepada-Nya. Dialah ibu yang melahirkanku ke dunia
ini, dialah ibu yang selalu menyayangiku, dan dialah ibu yang mencintaiku melebihi
nyawanya sendiri. Ibuku adalah sosok ibu yang sangat sempurna di mataku. Ibuku
adalah sosok wanita yang tangguh di mataku. Dan ibu adalah segala-galanya
bagiku.
Dulu disaat aku masih kecil, aku selalu mendapatkan kasih
sayang dari ibuku. Aku dimanjakan olehnya, aku ditimang-timang olehnya, dan aku
selalu mendapatkan perhatian darinya. Ibu yang mengajariku membaca, ibu yang
mengajariku menulis, ibu yang mengajariku mengaji, dan ibulah yang mengajarkan
semua hal kepadaku. Disaat aku menangis, aku selalu merengek kepada ibu.
Setelah aku dimarahi oleh ayah, aku selalu lari kepada ibu. Dan disaat aku
tidurpun, aku selalu ingin tidur bersama ibu. Aku paling senang jika ibu selalu
ada waktu bermain dengan aku. Tapi terkadang aku juga benci jika ibu sudah memarahiku.
Waktu berlalu hingga kini aku telah tumbuh remaja.
Seperti sosok yang melebihi segala-galanya, sampai kapanpun sosok ibuku akan
menjadi sosok wanita mulia di mataku. Sering aku melakukan dosa-dosa yang
mengecawakan ibu, tetapi cinta ibu kepadaku seakan tidak pernah mati ditelan
waktu.
Aku selalu dihantui oleh kesalahan-kesalahan yang mungkin
akan mengecewakan ibu jika ibuku mengetahuinya. Dulu aku sering mengambil uang
ibuku di dalam dompet hanya untuk bersenang-senang dengan pacarku. Walaupun tidak
banyak yang aku ambil, tetapi hal itu selalu aku lakukan setiap hari. Pernah
suatu hari ibu curiga kepadaku karena uang di dalam dompetnya semakin hari
semakin berkurang. Ibupun menghampiriku dan bertanya kepadaku dengan wajah yang
penuh kecurigaan, “Kamu mengambil uang di dompet ibu??” tanya ibu kepadaku
dengan nada lembut tapi sedikit memancing. Dengan kaget dan kebingungan aku
berusaha menjawab pertanyaan ibu kepadaku dan akupun berusaha meyakinkan ibu
bahwa aku tidak melakukannya walaupun sebenarnya memang aku yang mengambilnya.
Ibu selalu mempercayai ucapanku. Entah apa yang ada di fikiran ibu, yang jelas
aku sebagai seorang anak merasa telah berbuat dosa besar kepada ibu. Pernah
sesekali aku merenung di keheningan, bahwa kelak jika aku sudah bekerja, aku
ingin mengganti semua uang-uang ibu yang telah aku ambil tersebut. Aku tidak
peduli sebanyak apapun uang yang harus aku ganti, yang jelas hatiku bisa merasa
tenang karena sudah menebus dosa-dosaku kepada ibu. Sekalipun aku tau bahwa itu
tidak bisa menghapus dosaku di hadapan Tuhan, tetapi aku akan sedikit merasa
lega karena aku telah mengganti uang ibuku.
Karena waktu itu aku masih terbilang remaja, mungkin aku
belum bisa berfikir jernih dalam melakukan berbagai hal. Hingga datang suatu
hari dimana aku melakukan dosa kepada ibu untuk kesekian kalinya. Waktu itu aku
dan salah seorang temanku menjadi tersangka dan ditahan di kantor polisi. Aku
dan seorang temanku yang bisa dibilang teman dekatku di SMA dulu melakukan
tindakan pencurian helm di salah satu swalayan yang berada tak jauh dari
rumahku. Malam itu aku benar-benar menyesal karena tidak menuruti kata-kata ibu
yang menyuruhku untuk berada di rumah, malah aku memilih untuk ikut bersama
temanku. Aku yang tidak tau apa-apa, aku yang mengira bahwa temanku akan
mengajakku pergi nongkrong, malah dia merencanakan perbuatan tercela tersebut.
Aku yang terus ketakutan melihat aksi tidak terpuji temanku tersebut dan aku
yang terus berdoa agar hal itu tidak menjadikan petaka bagiku, tetapi semua itu
malah menjadi awal kehancuran hidupku dan akupun ikut terseret menjadi seorang
tersangka tindak kejahatan.
Di dalam tahanan aku terus merasa gelisah. Yang ada di
dalam fikiranku hanyalah bagaimana caraku untuk menympaikan berita ini kepada
keluargaku. Aku takut dimarahi ayah, aku takut digunjing saudara-saudara, dan
yang paling aku takutkan adalah bagaimana reaksi ibu jika tau bahwa anak
satu-satunya itu menjadi seorang tersangka dan kini mendekam di dalam jeruji
besi. Tentu betapa hinanya aku di mata keluargaku terutama di mata ibuku bahwa
anak semata wayangnya yang menjadi kebanggaannya kini mendekam di dalam
tahanan. Tetapi yang harus aku lakukan adalah mengabarkan kejadian tersebut
kepada mereka, dan akupun mmberanikan diri untuk menelepon ke rumah. Dengan
meminjam telepon kantor polisi, aku mengabarkan kepada keluarga bahwa waktu itu
aku berada di dalam tahanan. Tak lama kemudian ayah datang seorang diri ke
kantor kepolisian dan langsung menghampiriku. Dengan mata berlinangan air mata
dan kesedihan yang jelas terpancarkan di raut mukanya, ayah memelukku dan
berkata sesuatu kepadaku, “Kenapa bisa sampai seperti ini? Bagaimana jika nanti
ibumu tau hal ini?” kata ayah kepadaku. Dengan wajah yang penuh dengan
penyesalan dan berlingan air mata, aku tak kuasa untuk menjawab pertanyaan ayah
tersebut.
Tak lama kemudian ibu datang ke kantor polisi dan
langsung menghampiriku. Dengan wajah berlinangan air mata ibu menatapku kosong
tanpa berbicara sepatah katapun. Aku yang merasa benar-benar telah berbuat
hina, tak kuasa aku melihat sosok seorang ibu yang dari dulu selalu ceria dan
tak pernah aku mengecewakannya, tetapi kini aku membuatnya mengeluarkan air
mata dengan perbuatan tercelaku ini. Dengan merasa bersalah dan benar-benar
menyesal, akupun menghampiri ibu dan langsung memeluknya dan bersujud untuk
meminta maaf yang sebesar-besarnya karena telah benar-benar mengecewakan ibu. Tetapi
kasih sayang seorang ibu kepada anaknya memang benar-benar melebihi segalanya
bahkan seorang ibu rela mati demi anaknya, itulah yang aku rasakan pada waktu
itu.
Walaupun aku telah mengecawakan ayah dan ibuku, dan
bahkan mungkin aku benar-benar telah mencoreng nama baik keluargaku, tetapi
ayah dan ibuku masih setia di belakangku. Mereka tetap memperhatikanku walaupun
aku telah menjadi seorang tersangka. Mereka selalu membawakan aku makanan. Tak
peduli pagi, siang, sore, malam, mereka tak pernah lupa mengantarkan makanan
kepadaku. Aku sangat menyesal, aku ingin berbuat sesuatu pada saat itu, tetapi
aku sadar bahwa saat itu statusku adalah seorang nara pidana. Yang bisa aku
lakukan hanyalah meratapi kesalahanku, menangis, dan berdoa kepada Tuhan agar
Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik kepada keluargaku terutama kepada
ibuku. Sungguh aku tak kuasa melihat sosok ibuku pada waktu itu, terlebih lagi
ibu ingin menggantikan posisiku di dalam tahanan. Bagaimana mungkin aku bisa
membiarkan hal itu terjadi, aku yang berbuat hina tetapi aku yang harus melihat
ibuku berada di dalam jeruji besi yang pengap ini. Sontak saja aku menolak
permintaan ibu tersebut, biarlah aku yang merasakan buah dari hasil apa yang aku
tanam tersebut. Meski buah itu pahit, tetapi memang itulah balasan pantas yang
diberikan Tuhan kepadaku.
Aku terus berdoa dan berdoa kepada Tuhan agar aku
diizinkan menghirup nafas segar secepatnya. Sungguh aku tak sabar ingin segera
bebas dari masa hukuman tersebut. Yang ada di dalam fikiranku adalah, jika
kelak aku bebas dari sini, aku ingin benar-benar berubah menjadi anak yang baik
dan patuh kepada kedua orang tua. Aku ingin menebus dosa-dosa yang selama ini
aku perbuat dan mungkin telah mengecewakan orang tuaku.
Hingga tiba pada suatu hari dimana hari itu adalah hari
yang aku tunggu-tunggu. Hari penantianku disaat aku menjadi seorang nara
pidana. Tuhan memang benar-benar mengabulkan doaku, dan hari itupun aku
benar-benar bisa menghirup udara segar karena masa hukuman yang aku jalani di
penjara telah berakhir. Jujur kebahagiaan yang aku rasakan waktu itu enggak
bisa aku ungkapkan. Aku hanya bisa memeluk dan menatap bahagia ayah dan ibuku.
Walaupun aku telah dinyatakan bebas oleh pihak kepolisian, tetapi aku masih
harus diwajibkan untuk melapor selama dua kali dalam seminggu. Bukan untuk
apa-apa, tetapi hanya untuk memantau bahwa aku benar-benar betobat dan tidak
akan mengulangi perbuatan tercela seperti itu lagi. Akupun tak sungkan untuk
bercerita kepada ayah dan ibu serta keluarga-keluargaku semua bagaimana
kronologis kejadiannya bahwa aku bisa sampai mendekam di dalam tahanan. Setelah
panjang lebar aku bercerita, ibu memotong pembicaraanku dan berkata bahwa aku
harus pandai dalam bergaul. “Kamu bebas
bergaul dengan siapapun, asalkan kamu tau batasan-batasan mana yang baik dan
mana yang buruk”, jelas ibu kepadaku. Aku sungguh menyesali perbuatanku
tersebut, dan aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku enggak akan mengulangi
hal-hal bodoh seperti itu lagi dalam hidupku.
Hari terus berganti dengan hari, dan syukur alhamdulillah
kini aku tumbuh menjadi manusia yang bisa berfikir jernih. Dengan belajar dari
pengalaman hidupku yang pahit, aku selalu berusaha bangkit dari keterpurukan.
Aku selalu berhati-hati dalam melangkah. Dan aku selalu mengingat
nasehat-nasehat ibu kepadaku.
Kini aku telah duduk di bangku perkuliahan dan aku juga
menyisihkan sisa waktu yang aku punya untuk bekerja mencari uang. Karena pada
waktu itu aku ingat kata-kata dari salah seorang guru SMA di tempatku belajar
dulu, tetapi sekarang beliau telah berpulang ke Rahmatullah. Dia bertanya
kepadaku, “Kalau lulus dari sini kamu mau melanjutkan kuliah apa bekerja?”.
Karena kebingungan aku hanya bisa terdiam dan menggeleng-gelengkan kepala.
Kemudian beliau berkata kepadaku bahwa alangkah baiknya jika kelak aku lulus
SMA, aku meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Tetapi aku juga harus
menyisihkan sebagian waktu luangku untuk bekerja. Nasehat itulah yang masih aku
ingat sampai ssekarang. Walaupun aku berasal dari keluarga yang bisa dibilang
berkecukupan, tetapi aku ingin merasakan bagaimana rasanya mencari uang dari
hasil keringat sendiri. Dan di sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa, akupun
juga menghabiskan waktuku untuk bekerja. Syukur alhamdulillah dengan keadaan
yang aku jalani sekarang ini, secara tidak langsung aku merasa bahwa aku telah
menuruti nasehat almarhumah guruku di SMA tersebut.
Dengan kehidupan yang aku jalani sekarang, aku merasa
bangga kepada diriku sendiri. Karena aku yang sekarang berbeda dengan aku yang
dulu. Terima kasih Tuhan atas segala karunia-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar