Different Types Of Peace Symbol

Kamis, 01 Agustus 2013

Cerpen, SURGAKU ADALAH IBUKU

Sedikit cerpen untuk para pembaca. 
Bismillah....


SURGAKU ADLAH IBUKU


            Aku mencintainya, menyayanginya, bahkan selalu beliau yang aku banggakan. Itulah yang selalu tersimpan di dalam hatiku hampir sepanjang hidupku. Meskipun terkadang menyebalkan, tetapi aku tetap menyayanginya sampai akhir hayatku. Sosok beliaulah yang menjadi inspirasiku, sosok beliaulah yang menjadi pedomanku, dan sosok beliaulah yang selalu ada di dalam setiap alunan doaku kepada-Nya. Dialah ibu yang melahirkanku ke dunia ini, dialah ibu yang selalu menyayangiku, dan dialah ibu yang mencintaiku melebihi nyawanya sendiri. Ibuku adalah sosok ibu yang sangat sempurna di mataku. Ibuku adalah sosok wanita yang tangguh di mataku. Dan ibu adalah segala-galanya bagiku.
            Dulu disaat aku masih kecil, aku selalu mendapatkan kasih sayang dari ibuku. Aku dimanjakan olehnya, aku ditimang-timang olehnya, dan aku selalu mendapatkan perhatian darinya. Ibu yang mengajariku membaca, ibu yang mengajariku menulis, ibu yang mengajariku mengaji, dan ibulah yang mengajarkan semua hal kepadaku. Disaat aku menangis, aku selalu merengek kepada ibu. Setelah aku dimarahi oleh ayah, aku selalu lari kepada ibu. Dan disaat aku tidurpun, aku selalu ingin tidur bersama ibu. Aku paling senang jika ibu selalu ada waktu bermain dengan aku. Tapi terkadang aku juga benci jika ibu sudah memarahiku.
            Waktu berlalu hingga kini aku telah tumbuh remaja. Seperti sosok yang melebihi segala-galanya, sampai kapanpun sosok ibuku akan menjadi sosok wanita mulia di mataku. Sering aku melakukan dosa-dosa yang mengecawakan ibu, tetapi cinta ibu kepadaku seakan tidak pernah mati ditelan waktu.
            Aku selalu dihantui oleh kesalahan-kesalahan yang mungkin akan mengecewakan ibu jika ibuku mengetahuinya. Dulu aku sering mengambil uang ibuku di dalam dompet hanya untuk bersenang-senang dengan pacarku. Walaupun tidak banyak yang aku ambil, tetapi hal itu selalu aku lakukan setiap hari. Pernah suatu hari ibu curiga kepadaku karena uang di dalam dompetnya semakin hari semakin berkurang. Ibupun menghampiriku dan bertanya kepadaku dengan wajah yang penuh kecurigaan, “Kamu mengambil uang di dompet ibu??” tanya ibu kepadaku dengan nada lembut tapi sedikit memancing. Dengan kaget dan kebingungan aku berusaha menjawab pertanyaan ibu kepadaku dan akupun berusaha meyakinkan ibu bahwa aku tidak melakukannya walaupun sebenarnya memang aku yang mengambilnya. Ibu selalu mempercayai ucapanku. Entah apa yang ada di fikiran ibu, yang jelas aku sebagai seorang anak merasa telah berbuat dosa besar kepada ibu. Pernah sesekali aku merenung di keheningan, bahwa kelak jika aku sudah bekerja, aku ingin mengganti semua uang-uang ibu yang telah aku ambil tersebut. Aku tidak peduli sebanyak apapun uang yang harus aku ganti, yang jelas hatiku bisa merasa tenang karena sudah menebus dosa-dosaku kepada ibu. Sekalipun aku tau bahwa itu tidak bisa menghapus dosaku di hadapan Tuhan, tetapi aku akan sedikit merasa lega karena aku telah mengganti uang ibuku.
            Karena waktu itu aku masih terbilang remaja, mungkin aku belum bisa berfikir jernih dalam melakukan berbagai hal. Hingga datang suatu hari dimana aku melakukan dosa kepada ibu untuk kesekian kalinya. Waktu itu aku dan salah seorang temanku menjadi tersangka dan ditahan di kantor polisi. Aku dan seorang temanku yang bisa dibilang teman dekatku di SMA dulu melakukan tindakan pencurian helm di salah satu swalayan yang berada tak jauh dari rumahku. Malam itu aku benar-benar menyesal karena tidak menuruti kata-kata ibu yang menyuruhku untuk berada di rumah, malah aku memilih untuk ikut bersama temanku. Aku yang tidak tau apa-apa, aku yang mengira bahwa temanku akan mengajakku pergi nongkrong, malah dia merencanakan perbuatan tercela tersebut. Aku yang terus ketakutan melihat aksi tidak terpuji temanku tersebut dan aku yang terus berdoa agar hal itu tidak menjadikan petaka bagiku, tetapi semua itu malah menjadi awal kehancuran hidupku dan akupun ikut terseret menjadi seorang tersangka tindak kejahatan.
            Di dalam tahanan aku terus merasa gelisah. Yang ada di dalam fikiranku hanyalah bagaimana caraku untuk menympaikan berita ini kepada keluargaku. Aku takut dimarahi ayah, aku takut digunjing saudara-saudara, dan yang paling aku takutkan adalah bagaimana reaksi ibu jika tau bahwa anak satu-satunya itu menjadi seorang tersangka dan kini mendekam di dalam jeruji besi. Tentu betapa hinanya aku di mata keluargaku terutama di mata ibuku bahwa anak semata wayangnya yang menjadi kebanggaannya kini mendekam di dalam tahanan. Tetapi yang harus aku lakukan adalah mengabarkan kejadian tersebut kepada mereka, dan akupun mmberanikan diri untuk menelepon ke rumah. Dengan meminjam telepon kantor polisi, aku mengabarkan kepada keluarga bahwa waktu itu aku berada di dalam tahanan. Tak lama kemudian ayah datang seorang diri ke kantor kepolisian dan langsung menghampiriku. Dengan mata berlinangan air mata dan kesedihan yang jelas terpancarkan di raut mukanya, ayah memelukku dan berkata sesuatu kepadaku, “Kenapa bisa sampai seperti ini? Bagaimana jika nanti ibumu tau hal ini?” kata ayah kepadaku. Dengan wajah yang penuh dengan penyesalan dan berlingan air mata, aku tak kuasa untuk menjawab pertanyaan ayah tersebut.

            Tak lama kemudian ibu datang ke kantor polisi dan langsung menghampiriku. Dengan wajah berlinangan air mata ibu menatapku kosong tanpa berbicara sepatah katapun. Aku yang merasa benar-benar telah berbuat hina, tak kuasa aku melihat sosok seorang ibu yang dari dulu selalu ceria dan tak pernah aku mengecewakannya, tetapi kini aku membuatnya mengeluarkan air mata dengan perbuatan tercelaku ini. Dengan merasa bersalah dan benar-benar menyesal, akupun menghampiri ibu dan langsung memeluknya dan bersujud untuk meminta maaf yang sebesar-besarnya karena telah benar-benar mengecewakan ibu. Tetapi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya memang benar-benar melebihi segalanya bahkan seorang ibu rela mati demi anaknya, itulah yang aku rasakan pada waktu itu.
            Walaupun aku telah mengecawakan ayah dan ibuku, dan bahkan mungkin aku benar-benar telah mencoreng nama baik keluargaku, tetapi ayah dan ibuku masih setia di belakangku. Mereka tetap memperhatikanku walaupun aku telah menjadi seorang tersangka. Mereka selalu membawakan aku makanan. Tak peduli pagi, siang, sore, malam, mereka tak pernah lupa mengantarkan makanan kepadaku. Aku sangat menyesal, aku ingin berbuat sesuatu pada saat itu, tetapi aku sadar bahwa saat itu statusku adalah seorang nara pidana. Yang bisa aku lakukan hanyalah meratapi kesalahanku, menangis, dan berdoa kepada Tuhan agar Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik kepada keluargaku terutama kepada ibuku. Sungguh aku tak kuasa melihat sosok ibuku pada waktu itu, terlebih lagi ibu ingin menggantikan posisiku di dalam tahanan. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan hal itu terjadi, aku yang berbuat hina tetapi aku yang harus melihat ibuku berada di dalam jeruji besi yang pengap ini. Sontak saja aku menolak permintaan ibu tersebut, biarlah aku yang merasakan buah dari hasil apa yang aku tanam tersebut. Meski buah itu pahit, tetapi memang itulah balasan pantas yang diberikan Tuhan kepadaku.
            Aku terus berdoa dan berdoa kepada Tuhan agar aku diizinkan menghirup nafas segar secepatnya. Sungguh aku tak sabar ingin segera bebas dari masa hukuman tersebut. Yang ada di dalam fikiranku adalah, jika kelak aku bebas dari sini, aku ingin benar-benar berubah menjadi anak yang baik dan patuh kepada kedua orang tua. Aku ingin menebus dosa-dosa yang selama ini aku perbuat dan mungkin telah mengecewakan orang tuaku.
            Hingga tiba pada suatu hari dimana hari itu adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari penantianku disaat aku menjadi seorang nara pidana. Tuhan memang benar-benar mengabulkan doaku, dan hari itupun aku benar-benar bisa menghirup udara segar karena masa hukuman yang aku jalani di penjara telah berakhir. Jujur kebahagiaan yang aku rasakan waktu itu enggak bisa aku ungkapkan. Aku hanya bisa memeluk dan menatap bahagia ayah dan ibuku. Walaupun aku telah dinyatakan bebas oleh pihak kepolisian, tetapi aku masih harus diwajibkan untuk melapor selama dua kali dalam seminggu. Bukan untuk apa-apa, tetapi hanya untuk memantau bahwa aku benar-benar betobat dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela seperti itu lagi. Akupun tak sungkan untuk bercerita kepada ayah dan ibu serta keluarga-keluargaku semua bagaimana kronologis kejadiannya bahwa aku bisa sampai mendekam di dalam tahanan. Setelah panjang lebar aku bercerita, ibu memotong pembicaraanku dan berkata bahwa aku harus pandai dalam bergaul. “Kamu  bebas bergaul dengan siapapun, asalkan kamu tau batasan-batasan mana yang baik dan mana yang buruk”, jelas ibu kepadaku. Aku sungguh menyesali perbuatanku tersebut, dan aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku enggak akan mengulangi hal-hal bodoh seperti itu lagi dalam hidupku.
            Hari terus berganti dengan hari, dan syukur alhamdulillah kini aku tumbuh menjadi manusia yang bisa berfikir jernih. Dengan belajar dari pengalaman hidupku yang pahit, aku selalu berusaha bangkit dari keterpurukan. Aku selalu berhati-hati dalam melangkah. Dan aku selalu mengingat nasehat-nasehat ibu kepadaku.
            Kini aku telah duduk di bangku perkuliahan dan aku juga menyisihkan sisa waktu yang aku punya untuk bekerja mencari uang. Karena pada waktu itu aku ingat kata-kata dari salah seorang guru SMA di tempatku belajar dulu, tetapi sekarang beliau telah berpulang ke Rahmatullah. Dia bertanya kepadaku, “Kalau lulus dari sini kamu mau melanjutkan kuliah apa bekerja?”. Karena kebingungan aku hanya bisa terdiam dan menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian beliau berkata kepadaku bahwa alangkah baiknya jika kelak aku lulus SMA, aku meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Tetapi aku juga harus menyisihkan sebagian waktu luangku untuk bekerja. Nasehat itulah yang masih aku ingat sampai ssekarang. Walaupun aku berasal dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan, tetapi aku ingin merasakan bagaimana rasanya mencari uang dari hasil keringat sendiri. Dan di sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa, akupun juga menghabiskan waktuku untuk bekerja. Syukur alhamdulillah dengan keadaan yang aku jalani sekarang ini, secara tidak langsung aku merasa bahwa aku telah menuruti nasehat almarhumah guruku di SMA tersebut.



            Dengan kehidupan yang aku jalani sekarang, aku merasa bangga kepada diriku sendiri. Karena aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu. Terima kasih Tuhan atas segala karunia-Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar